MASYARAKAT MALAIS DAN HUTANNYA

by - April 21, 2017

Kampung Malais merupakan kampung pemekaran dari Kampung Wariyau yang ada di Distrik Klamono Kabupaten Sorong. Akses menuju Kampung Malais berupa jalan setapak ±1,5 km dari Kampung Wariyau. Memasuki kampung Malais akan dijumpai tempat pengumpulan kayu yang menjadi titik masuk kampung. Kampung berada di koordinat LS 010 08’ 26,1” dan BT 1310 26’ 36,8”. Masyarakat adat di Kampung Malais adalah masyarakat yang sepenuhnya bergantung pada hutan setempat. Masyarakat yang tinggal di kampung ini berasal dari suku asli Moi dan ada pula pendatang dari kabupaten lain di Papua Barat dan Papua.

Status Hutan Produksi Konversi yang ada di Kampung Malais ini adalah hutan hak masyarakat Kampung Malais. Setiap warga memiliki hak dan bagian masing-masing atas hutan tersebut. Pembagian hutan dibuat berdasarkan marga dan batas-batasnya berupa batas sungai. Batas-batas ini dibuat berdasarkan kesepakatan bersama.

Hutan dianggap sebagai sumber penghidupan utama masyarakat karena dari hutan lah semua kebutuhan sehari-hari dapat dipenuhi. Selain memanfaatkan untuk diambil kayunya, semua kebutuhan makanan sehari-hari sudah bisa terpenuhi dari hutan. Warga lebih memilih mengambil bahan makanan di hutan dibandingkan keluar kampung dengan pertimbangan transportasi dan jaraknya yang jauh. Mereka memanfaatkan hutan untuk mengambil sagu, sayur-mayur seperti pakis dan melinjo, serta bahan makanan lainnya. Selain sayur-mayur, di hutan mereka biasa memburu binatang seperti kanguru, kelelawar, kus-kus, rusa, dan babi. Selain itu, di sungai-sungai dalam kawasan hutan tersebut masyarakat juga biasa mencari hasil sungai seperti ikan dan kerang.

Masyarakat di Kampung Malais, Distrik Klamono

Jelajah hutan di Kampung Malais di Distrik Klamono
Salah satu hal yang unik berkaitan dengan kesadaran mereka akan pentingnya melestarikan hutan adalah adanya sebuah pohon besi yang dianggap sebagai pohon keramat yang tidak boleh di tebang sama sekali. Pohon ini menjadi penanda bahwa apabila suatu hari pohon lain habis ditebang, mereka masih memiliki sebuah harta berupa pohon tua yang tetap hidup.

Pohon Keramat
Dalam pemanfaatan hutan hak nya, masyarakat dilarang melakukan aktivitas jual beli tanah. Warga berkeyakinan bahwa tanah merupakan warisan tuhan yang wajib dijaga dan sebagai tempat bertahan hidup tanpa diperjualbelikan. Bila dilanggar akan mendapatkan sanksi alam.

     Aktivitas penebangan kayu di masyarakat Kampung Malais

            Bila ditinjau dari aturan yang ada dalam masyarakat adat, pihak-pihak yang akan melakukan penebangan pohon wajib terlebih dahulu mengikuti upacara adat dengan membayar biaya adat sejumlah lima juta rupiah dan bila dilakukan penebangan untuk alih fungsi oleh perusahaan untuk penambangan atau perkebunan, wajib ditambahkan dengan hewan-hewan ternak. Syarat pohon yang boleh ditebang adalah pohon yang berdiameter >60cm (kayu besi) dan >40cm (untuk kayu lainnya). Pohon kayu besi dan nani adalah komoditas utama yang ditebang untuk kepentingan ekspor, sedangkan kayu lain seperti matoa, damar, kenari, dll ditebang untuk kepentingan lokal. Kayu-kayu ini di jual langsung ke pengusaha kayu terkenal di Indonesia yakni Bapak Sitorus.

Pengangkutan kayu dari hutan
Penebangan kayu dilakukan oleh operator / masyarakat setempat dengan upah Rp 400.000,-/m3 untuk kayu lokal dan Rp 1.100.000,-/m3 untuk kayu besi. Mereka bekerja sepanjang hari dari pukul 08.00-18.00 WIT. Selanjutnya kayu-kayu tersebut diangkut oleh tenaga pengangkut dengan upah kotor Rp 1jt / m3. Tenaga pengangkut ini sebagian besar adalah warga asli suku Jawa yang bekerja setiap harinya dengan mengangkut rata-rata 1 m3 per hari. Sebelumnya bagi pihak-pihak yang mendapatkan ijin usaha diharuskan menyelesaikan administrasi dan pembayaran ke Dinas Kehutanan Provinsi dengan biaya Rp 30jt/ 50 m3. Warga setempat sebagai pemilik hak ulayat menerima Rp 500.000,- / orang / m3. Berkaitan dengan harapan masyarakat tentang kelestarian hutannya, masyarakat lebih berharap agar hutan mereka tetap lestari tanpa adanya investasi-investasi seperti perkebunan sawit dan pembalakan liar oleh pihak yang tidak bertanggung jawab dan merugikan mereka (Sumber : Wawancara dengan Bapak Martinus Ketua RT1 Kampung Malais).

Memasuki kawasan hutan, akan ditemui banyak jalur-jalur pengangkutan kayu yang dibuat oleh penebang kayu yang biasa mereka sebut rel. Rel ini terbuat dari kayu-kayu yang dibuat dari lokasi penebangan di dalam hutan hingga ke luar. Rel dibuat agar proses pengangkutan bisa selalu lancar karena kondisi medan yang ada berupa tanah berlumpur.

Selanjutnya kayu-kayu hasil tebangan dibawa ke tempat pengumpulan kayu yang berada tepat di pintu masuk Kampung Malais Distrik Klamono. Tempat pengumpulan kayu ini dibuat oleh masyarakat dengan lokasinya yang strategis karena tepat di tepi sungai. Di tempat pengumpulan kayu ini aktivitas-aktivitas masyarakat seperti pengeringan kayu, transaksi dengan somel, dan pengangkutan dilakukan. Kayu-kayu tebangan dari hutan dibawa dengan sepeda motor rakitan dan diangkut setiap harinya ke tempat ini. Selanjutnya dari tempat ini kayu-kayu dikelompokkan berdasarkan ukuran dan diangkut baik jalur darat maupun sungai.

Sungai Klasofok dimanfaatkan untuk jalur pengangkutan sungai menuju pelabuhan di Kampung SP1. Jalur pengangkutan melalui sungai ini dilakukan biasanya pada musim penghujan atau ketika debit air naik. Pengangkutan menggunakan perahu kayu dengan  jarak  tempuh sungai  ±2 km. Selain transportasi melalui sungai, pengangkutan dari tempat ini juga dilakukan dengan truck bak terbuka. Hal yang unik dari tempat ini juga adalah adanya jembatan yang berdasarkan informasi warga setempat adalah jembatan tua yang sudah ada sejak jaman Belanda yang kondisinya saat ini sudah rusak namun masih bisa dimanfaatkan untuk bersandarnya perahu pengangkut kayu.

Rel kayu di hutan

Sungai Klasofok, jalur utama pengangkutan kayu dari hutan
  
Aktivitas pengangkutan kayu di darat

Tempat Pengumpulan Kayu


You May Also Like

0 komentar