MASYARAKAT MALAIS DAN HUTANNYA
Kampung
Malais merupakan kampung pemekaran dari Kampung Wariyau yang ada di Distrik
Klamono Kabupaten Sorong. Akses menuju Kampung Malais berupa jalan setapak ±1,5
km dari Kampung Wariyau. Memasuki kampung Malais akan dijumpai tempat
pengumpulan kayu yang menjadi titik masuk kampung. Kampung berada di koordinat
LS 010 08’ 26,1” dan BT 1310 26’ 36,8”. Masyarakat adat
di Kampung Malais adalah masyarakat yang sepenuhnya bergantung pada hutan
setempat. Masyarakat yang tinggal di kampung ini berasal dari suku asli Moi dan
ada pula pendatang dari kabupaten lain di Papua Barat dan Papua.
Status Hutan Produksi Konversi yang
ada di Kampung Malais ini adalah hutan hak masyarakat Kampung Malais. Setiap
warga memiliki hak dan bagian masing-masing atas hutan tersebut. Pembagian
hutan dibuat berdasarkan marga dan batas-batasnya berupa batas sungai. Batas-batas
ini dibuat berdasarkan kesepakatan bersama.
Hutan dianggap sebagai sumber
penghidupan utama masyarakat karena dari hutan lah semua kebutuhan sehari-hari
dapat dipenuhi. Selain memanfaatkan untuk diambil kayunya, semua kebutuhan
makanan sehari-hari sudah bisa terpenuhi dari hutan. Warga lebih memilih
mengambil bahan makanan di hutan dibandingkan keluar kampung dengan
pertimbangan transportasi dan jaraknya yang jauh. Mereka memanfaatkan hutan
untuk mengambil sagu, sayur-mayur seperti pakis dan melinjo, serta bahan
makanan lainnya. Selain sayur-mayur, di hutan mereka biasa memburu binatang
seperti kanguru, kelelawar, kus-kus, rusa, dan babi. Selain itu, di
sungai-sungai dalam kawasan hutan tersebut masyarakat juga biasa mencari hasil
sungai seperti ikan dan kerang.
Masyarakat di Kampung Malais, Distrik Klamono |
Jelajah hutan di Kampung Malais di Distrik Klamono |
Salah satu hal yang unik
berkaitan dengan kesadaran mereka akan pentingnya melestarikan hutan adalah
adanya sebuah pohon besi yang dianggap sebagai pohon keramat yang tidak boleh
di tebang sama sekali. Pohon ini menjadi penanda bahwa apabila suatu hari pohon
lain habis ditebang, mereka masih memiliki sebuah harta berupa pohon tua yang
tetap hidup.
Pohon Keramat |
Dalam pemanfaatan hutan
hak nya, masyarakat dilarang melakukan aktivitas jual beli tanah. Warga
berkeyakinan bahwa tanah merupakan warisan tuhan yang wajib dijaga dan sebagai
tempat bertahan hidup tanpa diperjualbelikan. Bila dilanggar akan mendapatkan
sanksi alam.
Aktivitas
penebangan kayu di masyarakat Kampung Malais
Bila ditinjau dari
aturan yang ada dalam masyarakat adat, pihak-pihak yang akan melakukan
penebangan pohon wajib terlebih dahulu mengikuti upacara adat dengan membayar
biaya adat sejumlah lima juta rupiah dan bila dilakukan penebangan untuk alih
fungsi oleh perusahaan untuk penambangan atau perkebunan, wajib ditambahkan
dengan hewan-hewan ternak. Syarat pohon yang boleh ditebang adalah pohon yang
berdiameter >60cm (kayu besi) dan >40cm (untuk kayu lainnya). Pohon kayu
besi dan nani adalah komoditas utama yang ditebang untuk kepentingan ekspor,
sedangkan kayu lain seperti matoa, damar, kenari, dll ditebang untuk
kepentingan lokal. Kayu-kayu ini di jual langsung ke pengusaha kayu terkenal di
Indonesia yakni Bapak Sitorus.
Pengangkutan kayu dari hutan |
Penebangan kayu
dilakukan oleh operator / masyarakat setempat dengan upah Rp 400.000,-/m3 untuk
kayu lokal dan Rp 1.100.000,-/m3 untuk kayu besi. Mereka
bekerja sepanjang hari dari pukul 08.00-18.00 WIT. Selanjutnya kayu-kayu
tersebut diangkut oleh tenaga pengangkut dengan upah kotor Rp 1jt / m3.
Tenaga pengangkut ini sebagian besar adalah warga asli suku Jawa yang bekerja
setiap harinya dengan mengangkut rata-rata 1 m3 per hari. Sebelumnya
bagi pihak-pihak yang mendapatkan ijin usaha diharuskan menyelesaikan
administrasi dan pembayaran ke Dinas Kehutanan Provinsi dengan biaya Rp 30jt/
50 m3. Warga setempat sebagai pemilik hak ulayat menerima Rp
500.000,- / orang / m3. Berkaitan dengan harapan masyarakat tentang
kelestarian hutannya, masyarakat lebih berharap agar hutan mereka tetap lestari
tanpa adanya investasi-investasi seperti perkebunan sawit dan pembalakan liar
oleh pihak yang tidak bertanggung jawab dan merugikan mereka (Sumber :
Wawancara dengan Bapak Martinus Ketua RT1 Kampung Malais).
Memasuki kawasan hutan, akan ditemui banyak
jalur-jalur pengangkutan kayu yang dibuat oleh penebang kayu yang biasa mereka
sebut rel. Rel ini terbuat dari kayu-kayu yang dibuat dari lokasi penebangan di
dalam hutan hingga ke luar. Rel dibuat agar proses pengangkutan bisa selalu
lancar karena kondisi medan yang ada berupa tanah berlumpur.
Selanjutnya kayu-kayu
hasil tebangan dibawa ke tempat pengumpulan kayu yang berada tepat di pintu
masuk Kampung Malais Distrik Klamono. Tempat pengumpulan kayu ini dibuat oleh
masyarakat dengan lokasinya yang strategis karena tepat di tepi sungai. Di
tempat pengumpulan kayu ini aktivitas-aktivitas masyarakat seperti pengeringan
kayu, transaksi dengan somel, dan pengangkutan dilakukan. Kayu-kayu tebangan
dari hutan dibawa dengan sepeda motor rakitan dan diangkut setiap harinya ke
tempat ini. Selanjutnya dari tempat ini kayu-kayu dikelompokkan berdasarkan
ukuran dan diangkut baik jalur darat maupun sungai.
Sungai Klasofok
dimanfaatkan untuk jalur pengangkutan sungai menuju pelabuhan di Kampung SP1.
Jalur pengangkutan melalui sungai ini dilakukan biasanya pada musim penghujan
atau ketika debit air naik. Pengangkutan menggunakan perahu kayu dengan jarak
tempuh sungai ±2 km. Selain
transportasi melalui sungai, pengangkutan dari tempat ini juga dilakukan dengan
truck bak terbuka. Hal yang unik dari tempat ini juga adalah adanya jembatan
yang berdasarkan informasi warga setempat adalah jembatan tua yang sudah ada
sejak jaman Belanda yang kondisinya saat ini sudah rusak namun masih bisa
dimanfaatkan untuk bersandarnya perahu pengangkut kayu.
Rel kayu di hutan |
Sungai Klasofok, jalur utama pengangkutan kayu dari hutan |
Aktivitas pengangkutan kayu di darat |
Tempat Pengumpulan Kayu |
0 komentar